Gaza Menjerit: Ketika Dunia Diam, Anak-Anak Mati Kelaparan

Bagikan Artikel

Gaza — Di balik puing-puing bangunan yang hancur dan langit yang tak pernah benar-benar cerah, Gaza menangis. Tangisan itu bukan hanya milik seorang ibu yang kehilangan anaknya, atau seorang anak yang kehilangan seluruh keluarganya. Tangisan itu kini milik seluruh dunia yang perlahan mulai menyadari: ini bukan lagi sekadar konflik, ini adalah bencana kemanusiaan.

Sudah lebih dari enam bulan sejak serangan besar-besaran dimulai. Tapi bagi rakyat Gaza, waktu tak lagi berarti. Setiap hari terasa sama: penuh ketakutan, lapar, dan kehilangan. Menurut laporan terbaru dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA), lebih dari 70% infrastruktur di Gaza telah rusak parah. Rumah sakit kehabisan obat, ambulans tak bisa beroperasi karena kekurangan bahan bakar, dan yang paling tragis—anak-anak sekarat karena kelaparan.

Organisasi Save the Children menyebutkan bahwa ratusan ribu anak kini mengalami malnutrisi akut. Dalam sebuah rekaman video yang viral beberapa hari lalu, terlihat seorang balita kurus kering yang hanya bisa menatap kosong ke kamera. Tak ada tangisan lagi. Mungkin karena ia sudah terlalu lelah, atau karena air mata pun sudah habis.

“Bayi kami hanya diberi air gula. Itu pun kalau ada gula,” ucap seorang ibu di kamp pengungsian Rafah, sebagaimana dikutip oleh Al Jazeera. “Kami tidak punya apa-apa. Kami hanya ingin hidup.”

Kondisi semakin memburuk karena akses bantuan masih terhambat. Truk-truk bantuan dari perbatasan Mesir hanya bisa masuk dalam jumlah terbatas, itupun setelah menunggu berhari-hari. Di sisi lain, gencatan senjata masih sekadar wacana. Ledakan demi ledakan terus terdengar, bahkan saat adzan Maghrib berkumandang.

PBB, melalui Sekretaris Jenderal António Guterres, kembali menyerukan penghentian kekerasan dan akses kemanusiaan tanpa syarat. “Kita berada di titik kritis. Dunia harus bertindak sekarang, atau sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang membiarkan genosida terjadi di siang bolong,” ujarnya dengan nada tegas.

Solidaritas dunia memang mulai terlihat. Di Jakarta, ratusan mahasiswa dari berbagai universitas melakukan aksi damai dan doa bersama untuk Gaza. Di media sosial, tagar seperti #SaveGaza, #CeasefireNow, dan #FreePalestine terus menjadi trending. Tapi sayangnya, solidaritas belum cukup untuk menghentikan kelaparan.

Dunia seolah terbelah dua: antara mereka yang berjuang untuk hidup, dan mereka yang menonton dari jauh dengan hati yang perih namun tangan yang terikat.

Banyak yang bertanya: “Apa yang bisa kita lakukan dari sini?” Jawabannya mungkin tidak sederhana, tapi bukan berarti kita harus diam. Donasi, edukasi, dan menyuarakan kebenaran bisa menjadi bentuk perlawanan paling nyata di tengah ketidakberdayaan ini.

Karena Gaza bukan sekadar berita. Gaza adalah cermin kemanusiaan kita. Dan selama masih ada satu anak yang kelaparan, maka dunia ini belum benar-benar damai.


Bagikan Artikel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *